Selamat datang di Komunitas Blog Hama dan Penyakit Tumbuhan

Kamis, 14 November 2013

Pengaruh Iklim terhadap OPT

IMPLIKASI PERUBAHAN IKLIM TERHADAP DINAMIKA PERKEMBANGAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT)

Syahri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
Jl. Kol H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang
Email: bptp-sumsel@litbang.deptan.go.id

Abstrak
Perubahan iklim karena pemanasan global telah mengubah kondisi iklim global, regional, maupun lokal. Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat rentan terhadap perubahan iklim yang berdampak pada produktivitas tanaman dan pendapatan petani. Dampak tersebut bisa secara langsung maupun tidak langsung melalui serangan OPT, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat yang mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan OPT merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia. Perubahan iklim juga berimplikasi terhadap munculnya ras, strain, biotipe, genome baru dari hama dan penyakit yang mempengaruhi tanaman, ternak dan manusia dan berdampak menimbulkan risiko baru terhadap ketahanan pangan. Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi perubahan iklim di antaranya pemantauan terhadap dinamika serangan OPT, identifikasi faktor-faktor iklim yang berpengaruh terhadap perkembangan dan distribusi serangan OPT, membuat model prediksi dan validasi model prediksi serangan OPT, membangun sistem peringatan dini, adanya kelembagaan yang tepat dan akurat, mengembangkan penelitian tentang prediksi iklim dan permodelannya, serta penerapan sistem budidaya tanaman yang sehat yang diintegrasikan dalam teknologi pengelolaan hama dan penyakit tanaman secara terpadu.

Kata kunci: perubahan iklim, organisme pengganggu tumbuhan, pertanian.

PENDAHULUAN
Perhatian masyarakat nasional dan internasional semakin meningkat terhadap isu lingkungan global, khususnya perubahan iklim yang telah muncul sebagai isu utama lingkungan global. Iklim global telah mengalami perubahan sejak revolusi industri, diperkirakan konsentrasi CO2 telah meningkat 30% (Iwantoro, 2008).  Menurut laporan IPPC tahun 2007, rata-rata temperatur global akan meningkat antara 0,9-3,5oC pada tahun 2100 (Campbell, 2007). Peningkatan emisi gas rumah kaca diketahui telah menimbulkan adanya pemanasan global.
Perubahan iklim karena pemanasan global (global warming) telah mengubah kondisi iklim global, regional, maupun lokal. Hal ini karena iklim merupakan unsur utama yang berpengaruh dalam sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan ketahanan tanaman. Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) berubahnya pola curah hujan, (c) makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El- Nino dan La-Nina, dan (d) naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub.
Pemanasan global juga dapat menyebabkan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim (el-nino dan la-nina) dan ketidakteraturan musim. Selama 30 tahun terakhir terjadi peningkatan suhu global secara cepat dan konsisten sebesar 0,2oC per dekade, 10 tahun terpanas terjadi pada periode setelah tahun 1990. Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat rentan terhadap perubahan iklim yang berdampak pada produktivitas tanaman dan pendapatan petani. Dampak tersebut bisa secara langsung maupun tidak langsung melalui serangan OPT, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat yang mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan OPT merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia (Iwantoro, 2008).
Organisme Penganggu Tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi. Perkembangan hama dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga tidak heran kalau pada musim hujan dunia pertanian banyak disibukkan oleh masalah penyakit tanaman, sementara pada musim kemarau banyak masalah hama.
Dampak dari perubahan iklim adalah meningkatnya kejadian iklim ekstrim, berubahnya pola hujan, bergesernya awal musim, banjir, kekeringan, dan naiknya permukaan air laut. Perubahan itu otomatis merubah pola tanam padi di Indonesia dan juga memicu perubahan pola hidup OPT (organisme penganggu tanaman) yang dapat menyebabkan ledakan hama penyakit tanaman. Perubahan iklim juga berimplikasi terhadap munculnya ras, strain, biotipe, genome baru dari hama dan penyakit yang mempengaruhi tanaman, ternak dan manusia dan berdampak menimbulkan risiko baru terhadap ketahanan pangan.  Oleh sebab itu, subsektor tanaman pangan merupakan salah satu yang menerima dampaknya.
Direktorat Perlindungan Tanaman (2010) melaporkan bahwa kekeringan, kebanjiran, dan OPT telah menyebabkan sekitar 380 ribu ha sawah terganggu, dan 48 ribu ha di antaranya gagal panen. Sebagai contoh, selama MH 2010-1011 periode Oktober-Desember, serangan berat wereng batang coklat (WBC) seluas 9.961 ha, serangan sedang seluas 1.261 ha, serangan berat 278 ha, dan puso 12 ha. Selama periode Januari-Desember 2010, serangan WBC diduga mencapai 132.322 ha dan puso 4.586 ha. Serangan terluas terjadi di Jawa Barat (60.735 ha), Jawa Tengah (30.872 ha), Jawa Timur (27.066 ha), dan Banten (9.265 ha).
Fakta tersebut menunjukkan adanya kaitan perubahan iklim seperti peningkatan suhu dengan masalah hama dan penyakit di Indonesia. Namun, untuk memahami masalah secara menyeluruh perlu pengkajian khusus dan dalam tentang dampak iklim terhadap perubahan hama dan penyakit. Sehingga dapat dirumuskan langkah antisipasi yang tepat, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pengaruh iklim terhadap perkembangan OPT serta bagaimana upaya yang telah dan sebaiknya dilakukan untuk mengantisipasi permasalah tersebut.

PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERKEMBANGAN OPT
Pengaruh perubahan iklim terhadap populasi OPT sulit diprediksi, karena adanya keseimbangan antara OPT dengan tanaman inangnya (host) serta musuh alaminya. Namun secara umum, digeneralisasi sebagai berikut:
1.    Tanaman yang mengalami tekanan/stress karena perubahan iklim lebih rentan terhadap serangan OPT.
2.    Serangga hama dan mikroba termofilik (menyukai kondisi panas) lebih diuntungkan dengan makin panjangnya musim panas/kemarau dan meningkatnya temperatur .
3.    Organisme yang saat ini bukan sebagai OPT suatu saat dapat menjadi OPT.
4.    OPT dapat berekspansi ke wilayah lain.
Hama dan penyakit tanaman bersifat dinamis dan perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan biotik (fase pertumbuhan tanaman, populasi organisme lain, dsb) dan abiotik (iklim, musim, agroekosistem, dll). Pada dasarnya semua organisme dalam keadaan seimbang (terkendali) jika tidak terganggu keseimbangan ekologinya. Di lokasi
tertentu, hama dan penyakit tertentu sudah ada sebelumnya atau datang (migrasi) dari
tempat lain karena tertarik pada tanaman padi yang baru tumbuh. Perubahan iklim, stadia tanaman, budidaya, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan cara pengendalian mempengaruhi dinamika perkembangan hama dan penyakit.
Pada musim hujan, hama dan penyakit yang biasa merusak tanaman padi adalah tikus, wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blas, dan hawar daun bakteri, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Dalam keadaan tertentu, hama dan penyakit yang berkembang dapat terjadi di luar kebiasaan tersebut. Misalnya, pada musim kemarau yang basah, wereng coklat pada varietas rentan juga menjadi masalah. Sedangkan pada musim kemarau, hama dan penyakit yang merusak tanaman padi terutama adalah tikus, penggerek batang dan walang sangit.

Pengaruh Iklim terhadap Perkembangan Hama
          Beberapa dampak yang disebabkan karena perubahan iklim terhadap perkembangan hama tanaman adalah sebagai berikut.
        Terganggunya keseimbangan antara populasi hama, musuh alami dan tanaman inangnya.
        Pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap insect survival, perkembangan, daerah sebar dan dinamika populasi.
        Gangguan sinkronisasi antara tanaman inang dan perkembangan serangga hama terutama pada musim penghujan/dingin, peningkatan temperatur akan lebih mendukung perkembangan serangga hama dan daya hidup serangga hama pada musim dingin/penghujan.
        Temperatur yang meningkat dapat menyebabkan serangga hama yang semula hidup di belahan selatan bumi dapat melakukan invasi ke belahan utara bumi (contoh: kumbang pinus).
        Meningkatnya kadar CO2 udara dapat menurunkan kualitas pakan serangga pemakan tumbuhan, sebagai akibat dari meningkatnya kadar nitrogen pada daun sehingga berakibat pada melambatnya perkembangan serangga (Coviella & Trumble, 1999).
        Perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan fenologi dan kisaran inang serangga.

Pengaruh Iklim terhadap Perkembangan Penyakit
Beberapa dampak yang disebabkan karena perubahan iklim terhadap perkembangan penyakit tanaman adalah sebagai berikut.
        Musim panas/kemarau yang lebih panas akan menguntungkan patogen termofilik.
        Akibat peningkatan temperatur, distribusi geografis serangga vektor penyakit tanaman menjadi meluas sehingga memperluas insidensi penyakit.
        Meningkatnya temperatur diketahui telah meningkatkan serangan Phytophthora cinnamomi, penyebab penyakit busuk akar dan pangkal batang pada tanaman berdaun lebar dan konifer.
        Kekeringan yang terjadi pada musim kemarau dapat meningkatkan serangan jamur penyebab penyakit yang sangat tergantung tekanan/stress yang dialami inangnya.
        Berkurangnya hari hujan diperkirakan dapat menurunkan serangan patogen yang menyerang daun.
        Peningkatan konsentrasi CO2 di udara mengakibatkan meningkatnya fekunditas dan agresiveness patogen (Coakley et al., 1999)
        Hasil penelitian menunjukkan setiap peningkatan suhu sebesar 1oC dapat mempercepat terjadinya penyakit hawar daun kentang (4-7 hari lebih cepat).

Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Dinamika Perkembangan OPT
Hama maupun patogen merupakan makhluk hidup yang dalam aktifitasnya sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Menurut Semangun (2004), terjadinya suatu penyakit tanaman akan dipengaruhi oleh tiga faktor penting yaitu tanaman inang yang rentan (susceptible host), patogen yang virulen serta kondisi lingkungan yang sesuai.  Apabila ketiga faktor tersebut tercapai maka penyakit tanaman akan muncul. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan penyakit di antaranya suhu rendah yang dapat meningkatkan intensitas penyakit, kelembaban dan curah hujan yang tinggi cenderung meningkatkan intensitas serangan penyakit. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa faktor lingkungan merupakan faktor penting dalam mendukung terjadinya penyakit tanaman.
Begitu juga dengan serangan hama tanaman akan sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.  Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan hama di antaranya adalah suhu, curah hujan, kelembaban dan kualitas pakan.  Menurut Petzoldt dan Seaman (2010), setiap peningkatan suhu sebesar 2oC akan mengakibatkan peningkatan satu hingga lima siklus hidup serangga per musim. Namun, beberapa serangga hama juga akan mengalami penghambatan pertumbuhan ketika terjadi suhu yang esktrim panas atau esktrim dingin.

ANTISIPASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERKEMBANGAN OPT
          Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi perubahan iklim di antaranya sebagai berikut.
1.    Pemantauan terhadap dinamika serangan OPT
2.    Identifikasi faktor-faktor iklim yang berpengaruh terhadap perkembangan dan distribusi serangan OPT
3.    Membuat model prediksi dan validasi model prediksi serangan OPT (peramalan serangan OPT)
4.    Membangun sistem peringatan dini (early warning system)
5.    Adanya kelembagaan yang tepat dan akurat
6.    Mengembangkan penelitian tentang prediksi iklim dan permodelannya.
7.    Penerapan sistem budidaya tanaman yang sehat yang diintegrasikan dalam teknologi pengelolaan hama dan penyakit tanaman secara terpadu.

Adaptasi Perubahan Iklim pada Sistem Pertanian Ekstensif
Dampak Perubahan Iklim
Adaptasi yang dapat dilakukan
Meningkatnya variabiitas dan perubahan musiman curah hujan
     Diversifikasi tanaman
     Sistem penanaman yang oportunis
Menurunnya kelembaban tanah
     Zero tilliage practices
     Pemilihan tanaman/kultivar yang tepat
Perubahan dinamika populasi hama, penyakit dan gulma
Meningkatkan monitoring dan adopsi teknologi PHT
Meningkatnya stress akibat peningkatan suhu
   Pemilihan waktu penanaman yang tepat
   Pemilihan kultivar yang tepat
Menurunnya kualitas biji-bijian/nutrisi
   Menyesuaiakan aplikasi pupuk dengan kondisi musim
Sumber: Natawidjaja & Widarto (2008)


Adaptasi Perubahan Iklim pada Sistem Pertanian Intensif
Dampak perubahan iklim
Adaptasi yang dapat dilakukan
Meningkatnya suhu dan kadar CO2 udara yang berakibat pada meningkatnya kebutuhan air dan perubahan waktu berkecambah/panen
   Mengamankan supply air
   Memperbaiki pengelolaan air
   Merevisi jadwal penanaman untuk menjaga hasil panen dan memenuhi permintaan pasar
Perubahan wilayah sebar dan insidensi serangan OPT
Meningkatkan monitoring dan adopsi teknologi PHT
Menurunnya kualitas hasil panen akibat kekurangan air, meningkatnya suhu udara dan kadar CO2
   Melakukan modifikasi pemupukan
   Mengubah siklus penanaman untuk menghindari kondisi ekstrim
Sumber: Natawidjaja & Widarto (2008)

Inovasi Teknologi pada Tanaman Padi untuk Mengantisipasi Perubahan Iklim
Dari segi inovasi teknologi budidaya tanaman padi, Badan Litbang Pertanian telah menerapkan komponen budidaya padi dalam satu paket PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu). PTT yang sudah berhasil dikembangkan adalah PTT Padi sawah irigasi, PTT padi sawah tadah hujan, PTT padi rawa (rawa lebak dan pasang surut), PTT padi gogo, PTT padi hibrida, dan PTT padi ketan. Komponen pendukung PTT, dapat dibagi menjadi komponen dasar dan pilihan. Komponen dasar merupakan komponen yang sangat dianjurkan, sedangkan komponen pilihan merupakan komponen yang disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan petani setempat.
Komponen dasar, terdiri dari:
1.    Varietas Unggul Baru.
2.    Benih bermutu dan berlabel.
3.    Pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos
4.    Pengaturan populasi secara optimum.
5.    Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah.
6.    Pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan pendekatan pengendalian hama terpadu (PHT).
Komponen pilihan, terdiri dari:
1.    Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam.
2.    Penggunaan bibit muda (<21 hari).
3.    Tanam bibit 1-3 batang per rumpun.
4.    Pengairan berselang atau intermittent.
5.    Penyiangan dengan landak atau gasrok.
6.    Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.
Beberapa inovasi teknologi lain yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian di antaranya adalah penyediaan kalender tanam yang di dalamnya berisi informasi mengenai awal musim tanam, rekomendasi pemupukan, maupun peta kerawanan terhadap OPT, kebanjiran dan kekeringan. Pemanfaatan kalender tanam ini diharapkan dapat menekan tingkat kehilangan hasil yang disebabkan oleh OPT maupun dampak dari perubahan iklim seperti kekeringan maupun kebanjiran pada suatu lokasi.

PENUTUP
          Perubahan iklim global berpengaruh nyata terhadap sistem pertanian termasuk di Indonesia, meluasnya kisaran jenis invasif baik dari golongan serangga, cendawan, bakteri, nematoda dan gulma. Untuk menghadapi perubahan iklim global tersebut diperlukan kajian terhadap pengaruh perubahan iklim terhadap dinamika populasi dan sebaran OPT, kajian mengenai adaptasi tanaman terhadap perubahan iklim serta penggunaan varietas/kultivar tanaman yang tahan terhadap OPT maupun dampak perubahan iklim.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim.  2011.  Inovasi Padi Menghadapi Perubahan Iklim.  Sinar Tani Edisi 5-11 Januari 2011 No. 3387 Tahun XLI.
Baehaki, SE. 2011.  Inovasi Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Padi.  Disampaikan pada Workshop Dukungan Inovasi dalam Penyiapan Strategi Pengendalian OPT Padi Nasional.  Cipayung, 4-6 Desember 2011.
Garrett, KA et al.  2006.  Climate Change Effects on Plant Disease: Genomes to Ecosystems.  Annu. Rev. Phytopathol. 44:489–509.
Garrett, KA et al.  2009.  Plant Pathogens as Indicators of Climate Change.
Iwantoro, S.  2008.  Pengaruh Perubahan Iklim Global terhadap Eksistensi Spesies Invasif dan Perdagangan Global.  Prosiding Seminar Nasional PEI dan PFI Komda Sumsel.  Palembang, 18 Oktober 2008.
Natawidjaja, H. dan H.T. Widarto.  2008.  Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Dinamika Populasi OPT. Prosiding Seminar Nasional PEI dan PFI Komda Sumsel.  Palembang, 18 Oktober 2008.
Petzoldt, C and A. Seaman.  2010.  Climate Change Effects on Insects and Pathogens. 
Roja, A.  2009.  Pengendalian Hama dan Penyakit Secara Terpadu (PHT) pada Padi Sawah.  BPTP Sumatera Barat.

Waspada Ancaman Busuk pada Buah

PENGENDALIAN LALAT BUAH
Syahri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
Jl. Kol. H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang

Lalat buah merupakan salah satu hama yang berpotensi menimbulkan kerugian pada usaha tani tanaman hortikultura. Lebih dari seratus jenis tanaman hortikultura diduga menjadi sasaran serangan lalat buah (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2000). Di Indonesia, ada sekitar 66 jenis lalat buah yang bisa menyerang tanaman hortikultura.
Serangan lalat buah dapat menyebabkan buah menjadi rusak dan busuk karena perilaku lalat buah betina meletakkan telur pada buah, kemudian telur menetas menjadi larva dan memakan daging buah, selanjutnya buah akan gugur sebelum waktunya. Pada umumnya populasi yang tinggi menyebabkan intensitas serangan lalat buah juga tinggi (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2002).

Karakteristik Lalat Buah
    Serangga dewasa mirip lalat rumah, panjang sekitar 6-8 mm dan lebar 3 mm. Bagian dada (torak) berwarna oranye, merah kecoklatan, coklat atau hitam biasanya pada B. dorsalis terdapat 2 garis membujur dan sepasang sayap transparan. Pada perut (abdo­men) terdapat 2 pita melintang dan satu pita membujur warna hitam atau bentuk huruf T yang kadang-kadang tidak jelas. Pada lalat betina ujung abdomen lebih runcing dan mempunyai alat peletak telur (ovipositor) yang cukup kuat untuk menembus kulit buah sedangkan lalat jantan abdomen lebih bulat.
    Telur berwarna putih berbentuk bulat panjang yang diletakkan secara berkelompok 2-15 butir di dalam buah. Larva (ulat) terdiri atas 3 instar berbentuk bulat panjang dengan salah satu ujungnya (kepala) runcing dengan 2 bintik hitam yang jelas merupakan alat kait mulut, mempunyai 3 ruas torak, 8 ruas abdomen, berwarna putih susu atau putih keruh atau putih kekuningan, larva menetas di dalam buah.

    Pupa (kepompong), berada di permukaan tanah berwarna kecoklat-coklatan dan berbentuk oval dengan panjang sekitar 5 mm. Siklus hidup di daerah tropis sekitar 25 hari. Serangga betina dapat meletakkan telur 1-40 butir/buah/hari dan dari satu ekor betina dapat menghasilkan telur 1.200–1.500 butir. Stadium telur 2 hari, larva 6-9 hari. Larva instar 3 dapat mencapai panjang sekitar 7 mm, akan membuat lubang keluar untuk meloncat dan melenting dari buah masuk ke dalam tanah dan menjadi pupa di dalam tanah. Pupa berumur 4-10 hari dan menjadi serangga dewasa. Selain di Indonesia hama ini tersebar di Asia, Pasifik, Afrika umumnya di daerah tropis dan subtropis.
 
Gejala Kerusakan Akibat Lalat Buah
    Buah yang terserang lalat buah ditandai oleh adanya lubang titik hitam pada bagian pangkalnya, tempat serangga dewasa memasukkan telur. Umumnya telur diletakkan pada buah yang agak tersembunyi dan tidak terkena sinar matahari langsung serta pada buah yang agak lunak dengan permukaan agak kasar. Larva membuat saluran di dalam buah dengan memakan daging buah serta menghisap cairan buah dan dapat menyebabkan terjadi infeksi oleh bakteri sehingga buah menjadi busuk dan biasanya jatuh ke tanah sebelum larva berubah menjadi pupa.
Lalat buah hidup bersimbiosis mutualisme dengan suatu bakteri, sehingga apabila lalat meletakkan telur pada buah, maka akan selalu disertai bakteri dan mungkin disusul jamur yang pada akhirnya mengakibatkan huah busuk.
 
 
 
Tanaman Inang Lalat Buah
    Beberapa jenis tanaman yang bisa menjadi inang lalat buah di antaranya adalah buah-buahan seperti mangga, kopi, pisang, jambu, cengkeh, belimbing, sawo, jeruk, ketimun, dan nangka dan beberapa jenis tanaman sayuran seperti ketimun, paria, cabai, dan sebagainya.
  
Pemberantasan Lalat Buah
Beberapa cara untuk mengendalikan lalat buah pada tanaman di antaranya:
o    Membuang buah yang telah terserang, kegiatan ini dilakukan dengan sesegera mungkin membuang dan membakar buah yang telah terserang. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan lalat terhenti diakibatkan kematian lalat pada periode ulat (larva).
o    Memasang perangkap lalat buah yang telah diberi zat penarik (atraktan) berbahan aktif metil eugenol, beberapa atraktan yang telah diproduksi seperti Petrogenol, Atlabu. Pemasangan perangkap dilakukan segera setelah tanaman berbuah, dengan tujuan agar imago lalat buah tidak dapat melakukan peletakan telur pada buah. Atraktan terlebih dahulu diteteskan pada kapas yang telah dimasukkan ke dalam perangkap yang terbuat dari botol plastik air mineral 600 ml (sepertiga bagian kepala botol dipotong, kemudian potongan dimasukkan ke botol dengan mulut botol berada di bagian dalam dan tutup botolnya dibuka. Bagian depan dan belakang botol diikat dengan kawat agar mudah digantungkan di pohon. Pada bagian tengah botol diikatkan segumpal kapas yang ditetesi 2-4 ml metil eugenol, kemudian botol diisi dengan air seperempat bagian dan jangan sampai mengenai kapas). Selanjutnya, atraktan diletakkan di sekeliling lahan pertanaman dan upayakan dilakukan pengamatan dan pengambilan lalat buah yang terperangkap setiap minggu. Sebaiknya jangan meletakkan perangkap di tengah lahan pertanaman.




Beberapa tipe perangkap lalat buah
o    Melakukan pengasapan di sekitar kebun. Pengasapan merupakan salah satu langkah sederhana untuk menekan serangan lalat buah, terganggunya proses perpindahan lalat buah akan menyebabkan terhambatnya peletakan telur lalat buah.  Hal ini tentunya dapat memperkecil kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh serangan lalat buah.
o    Membungkus buah. Untuk melindungi buah sebelum proses masaknya buah dapat dilakukan dengan membungkus buah dengan menggunakan plastik atau bahan lainnya. Pembungkusan buah ini akan menghalangi imago lalat buah dalam meletakkan telurnya di buah.
o    Penanaman tanaman perangkap. Tanaman perangkap yang bisa digunakan untuk umpan lalat buah adalah tanaman selasih ungu. Tanaman selasih ungu ini akan menarik perhatian imago lalat buah, setelah lalat buah berkumpul pada tanaman tesebut barulah dilakukan penyemprotan dengan insektisida.
o    Penggunaan predator semut rangrang (Oecophylia smaragdina), menurut Rahmiyati (2006), pemanfaatan semut rangrang dapat menekan kerusakan akibat lalat buah sebesar 1-2%.
o    Gunakan insektisida kimia jika telah menggunakan pengendalian ternyata masih terjadi serangan lalat buah. Penggunaan insektisida piretroid sintetik yang kuat seperti deltametrin, betasiflutrin, lamdasihalotrin dan sipermetrin dengan konsentrasi 1 ml/liter biasanya sudah mampu mengendalikan hama lalat buah ini. Lakukan penyemprotan saat pagi-pagi sekali dan semprot bagian bawah daun secara merata dan mengabut.

Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2000. Penggunaan Perangkap dalam Pengendalian Lalat Buah. http://www. Pustaka_deptan.co.id. /agritech/dkijoiis.pdf.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2002. Pedoman Pengendalian Lalat Buah. Direktorat Perlindungan Hortikultura. Jakarta.
Rahmiyati.  2006.  Predator Semut Rangrang Oecophylia smaragdina (F)dalam Mengendalikan Hama Utama Tamanan Pare (Momordica charantia L) di Lahan Rawa Pasang Surut.  Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian.
Siwi, S.S. dan Purnama Hidayat.  2004.  Taksonomi dan Bioekologi Lalat Buah Penting Bactrocera spp. (Diptera, Tephritidae) di Indonesia.  Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor.