Selamat datang di Komunitas Blog Hama dan Penyakit Tumbuhan

Kamis, 09 Februari 2012

Pengendalian CVPD pada Jeruk


Penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD)
dan Strategi Pengendaliannya di Sumatera Selatan

Syahri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
Jl. Kol. H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang
Email: bptp-sumsel@litbang.deptan.go.id

RINGKASAN
Penyakit CVPD merupakan salah satu penyakit penting yang menyerang tanaman jeruk di Sumatera Selatan.  Penyakit ini disebabkan oleh Liberobacter asiaticum yang dapat ditularkan oleh serangga vektor D. citri. Tanaman yang sakit menunjukkan berupa penghambatan pertumbuhan (kerdil), daun gugur dan pembungaan salah waktu, mati ranting, pembentukan akar serabut atau akar baru terhambat serta gejala khas pada daun. Sedangkan, pada buah menyebabkan buah yang terinfeksi menjadi kecil, tidak simetris, dan terasa agak pahit disebabkan karena kadar asam naik dan kadar gula menurun.  Selain itu, buah terkadang cepat gugur dan berwarna tidak sempurna, masih tampak warna hijaunya.  Demikian pentingnya penyakit ini sehingga berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 38/KPTS/HK.060/I/2006 Liberobacter asiaticum ditetapkan sebagai salah satu Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Golongan A2 yang penyebarannya meliputi daerah Papua, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Sumatera.  Untuk itulah diperlukan tindakan pengendalian seperti melalui karantina, pengendalian serangga vektor D. citri, penggunaan varietas tahan, perlakuan perendaman bibit jeruk dengan senyawa kimiawi, teknologi infus batang pada tanaman dewasa, eradikasi selektif tanaman yang terserang dan penggunaan tanaman tapak dara.

PENDAHULUAN
          Jeruk (Citrus sp.) merupakan komoditas hortikultura penting di Indonesia. Jeruk termasuk jenis buah-buahan yang digemari oleh masyarakat dan memiliki kapasitas dalam menunjang perbaikan gizi masyarakat karena kandungan vitamin C-nya cukup tinggi dan dikonsumsi baik dalam bentuk segar (sebagai buah meja) maupun olahan (jus dan sirup).  Sumatera Selatan merupakan salah satu sentra penanaman jeruk di Indonesia yang ditetapkan sebagai salah satu daerah pengembangan kawasan hortikultura.
Kendala yang dihadapi adalah masih tingginya serangan hama maupun penyakit pada jeruk.  CVPD yang disebabkan Liberobacter asiaticum merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman jeruk.  Di Indonesia, penyakit CVPD atau dikenal juga dengan nama Huanglongbin Disease telah lama dikenal dan berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 38/KPTS/HK.060/I/2006 Liberobacter asiaticum ditetapkan sebagai salah satu Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Golongan A2 yang penyebarannya meliputi daerah Papua, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Sumatera.
Pada tahun 1982-1985 daerah sentra produksi jeruk tersebut mengalami kehancuran karena serangan penyakit CVPD yang dapat ditularkan melalui bibit dan serangga vektor Diaphorina citri. Tahun 1983, penyakit CVPD menyebabkan kerugian senilai Rp 26,4 milyar. Sementara itu Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan (1984) melaporkan bahwa CVPD telah memusnahkan jutaan pohon jeruk di Indonesia. Kehilangan jeruk oleh penyakit tersebut ditaksir 50.000 ton buah per tahun.
Penyebaran CVPD secara geografis dari satu daerah ke daerah lain, serta masuknya penyakit ke dalam kebun disebabkan oleh bahan tanaman yang terinfeksi, terutama berasal dari penggunaan tunas mata temple yang terinfeksi. Sedangkan penyebaran ketanaman lain dalam satu kebun biasanya melalui vektor Diaphorina citri atau penggunaan tunas mata tempepl yang terinfeksi. Penularan melalui kuncup biasanya relative rendah (5-10%), karena bakteri penyebab penyakit tidak tersebar dalam jaringan tanaman (Nurhadi dan Whittle, 1988).  Penularan CVPD selain melalui vektor, mata tempel, bibit tanaman sakit, juga dapat melalui alat yang digunakan memotong dahan ranting tanaman jeruk yang sakit karena CVPD. 
          Permasalahan penyakit CVPD ini membutuhkan suatu perhatian agar tanaman jeruk yang dibudidayakan menghasilkan produksi optimal.  Upaya pemerintah dalam membangun agribisnis/agroindustri jeruk yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi menuntut dukungan industri benih yang tangguh. Industri benih jeruk yang tangguh memerlukan adanya jaminan mutu benih, teknologi produksi dan sistem distribusi yang efisien, yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.  Selain itu, upaya pembangunan agroindustri jeruk juga harus didukung dengan adanya pengetahuan petani khususnya dalam membudidayakan tanaman secara sehat.  Demikian pentingnya pengetahuan tentang penyakit ini, sehingga melalui tulisan ini diinformasikan penyebab penularan penyakit CVPD dan bagaimana tindakan yang dapat dilakukan untuk mengendalikannya.

Karakteristik Penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration)
Gejala serangan penyakit CVPD pada jeruk bergantung pada varietas jeruk yang ditanam.  Gejala dapat berupa penghambatan pertumbuhan (kerdil), daun gugur dan pembungaan salah waktu, mati rantung, pembentukan akar serabut atau akar baru terhambat serta gejala khas pada daun. Gejala daun: daun sebagian/seluruh tajuk menguning.  Daun tampak kaku, tegak terkadang disertai klorotik. Tulang daun tua berwarna lebih gelap (greening).  Gejala penyakit ini mirip kekurangan unsur seng. Gejala dalam: berupa floem daun sakit lebih tebal dibandingkan daun sehat.  Pembuluh tapis floem mengempis (penebalan dinding sel).  Gejala pada buah yaitu buah menjadi kecil, tidak simetris, dan terasa agak pahit disebabkan karena kadar asam naik dan kadar gula menurun.  Selain itu, buah terkadang cepat gugur dan berwarna tidak sempurna, masih tampak warna hijaunya (Semangun, 2004).
Penyebab penyakit ini adalah bakteri Liberobacter asiaticum (Asia) dan Liberobacter africanum (Afrika) yang dulu dikenal sebagai MLO. Penyakit dapat menular melalui okulasi, penyambungan dan alat pertanian. Bakteri menyebar melalui jaringan floem, dan sedikit/tidak terdapat pada mata tunas.  Bakteri ini ditularkan oleh serangga Diaphorina citri.  Bakteri Liberobacter hidup dalam floem tanaman jeruk dan menimbulkan gejala yang khas, bakteri tersebut belum bisa dibiakkan pada media buatan. Penularan penyakit CVPD di alam bergantung pada kepadatan populasi D. citri sebagai serangga vektor dan keberadaan sumber inokulum (Chen, 1998 dalam Wijaya, 2007). Nurhadi (1993) melaporkan bahwa patogen dapat ditularkan oleh serangga vektor dari satu tanaman ke tanaman lain setelah melalui 1) periode makan akuisisi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman sakit sampai mendapatkan patogen, 2) periode makan inokulasi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman sehat sampai dapat menularkan patogen dan 3) periode retensi yaitu selang waktu vektor masih dapat menularkan patogen. Selanjutnya ditambahkan ketepatan vektor menusukkan stiletnya pada bagian tanaman sakit dan proporsi vektor yang infektif mempengaruhi laju penularan penyakit CVPD.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penularan Penyakit CVPD
Keberadaan Serangga Vektor.  Populasi serangga vektor D. ctri akan sangat berpengaruh terhadap penularan maupun penyebaran penyakit CVPD.  Meskipun serangga tersebut tidak terbang jauh, karena panjangnya umur tanaman sakit, kesempatan menularnya penyakit oleh D. citri cukup besar. Penularan terutama terjadi pada waktu tanaman membentuk banyak kuncup.
Teknis Budidaya yang Tidak Tepat.  Penyakit CVPD tidak dapat menular secara mekanis dengan gosokan, tetapi akhir-akhir ini terdapat tanda-tanda bahwa penyakit dapat menular dengan perantaraan alat-alat pertanian seperti gunting pangkas, pisau okulasi dan gergaji. Penyakit juga dapat menular dengan penempelan mata tempel/penyambungan dari tanaman jeruk yang telah terinfeksi. Di Indonesia penyakit memencar jarak jauh terutama karena terbawa terbawa oleh bibit. Bibit-bibit tersebut mengandung penyakit karena mata yang dipakai untuk menempel (okulasi) diambil dari tanaman yang sakit (Semangun, 2004).  Selain itu, petani umumnya jarang melakukan tindakan pemupukan yang tepat untuk tanaman jeruk mereka sehingga kurangnya perawatan tanaman ini menjadikan tanaman semakin rentan terhadap penyakit. 
Kondisi lingkungan.  Pada umumnya penyakit CVPD akan berkembang dengan cepat pada kondisi kelembaban dan curah hujan yang tinggi.

Tindakan Pengendalian yang dapat Dilakukan

1.  Tindakan Karantina

          Tindakan karantina merupakan tindakan preventif yang sangat efektif untuk mencegah penyebaran penyakit CVPD ini. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 38/KPTS/HK.060/I/2006, penyakit CVPD dikategorikan sebagai Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Kategori A2 yang memiliki daerah sebar meliputi Papua, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Sumatera  Menurut laporan kegiatan pemantauan yang dilakukan Balai Karantina Pertanian Kelas I Palembang Tahun 2010, menyebutkan bahwa penyakit CVPD ditemukan di sentra pertanaman jeruk di Kabupaten Lahat (Laporan Hasil Pemantauan OPT/OPTK Balai Karantina Pertanian Kelas I Palembang, 2010).  Sebelumnya, pada tahun 2008 penyakit CVPD diketahui telah menyebar pada beberapa daerah sentra pertanaman jeruk di Sumatera Selatan seperti Ogan Ilir, OKU Selatan, Kota Palembang, Lahat, Musi Banyuasin, OKI, Banyuasin dan Prabumulih (Kornida & Pejabat POPT, 2008).  Dengan adanya pengurangan daerah sebar ini, tentunya jelas bahwa tindakan karantina telah berhasil mencegah penyebaran penyakit CVPD.  Namun, permasalahan yang sering dihadapi adalah arus pengiriman komoditas jeruk di luar wilayah pemasukan resmi yang ditetapkan pemerintah sehingga sering menyebabkan tersebarnya bibit penyakit tanpa diketahui pihak Karantina Pertanian sehingga tidak jarang terjadi insidensi penyakit CVPD di lapangan.  Oleh karena itu, diperlukan tindakan komprehensif lainnya untuk mengantisipasi meluasnya CVPD.

2.  Pengendalian Serangga Vektor D. citri
Penyakit CVPD ditularkan oleh serangga vektor Diaphorina citri. Menurut Cholil Mahfud (1985), hubungan antara vektor D.citri dengan penyakit CVPD adalah sebagai berikut.
  1. Vektor D.citri baru dapat menularkan  CVPD setelah mengisap tanaman sakit selama 48 jam. Berdasarkan tunas sakit, hasil penularan makin tinggi apabila vektor telah mengisap tanaman sakit selama 72 jam
  2. Penularan terjadi setelah 360 jam vektor selesai menghisap tanaman sehat. Sampai 168 jam setelah menghisap tanaman sehat, vektor yang viruliferous belum menularkan CVPD. Makin banyak populasi D. citri (sampai 10 ekor) semakin tinggi penularan
  3. Vektor yang mengandung CVPD rata- rata berumur 33 hari dan umur ini lebih pendek dari vektor yang tidak mengandung CVPD.
Berdasarkan uraian di atas, upaya mengendalikan serangga vektor D. citri mutlak dilakukan guna memutus penyebaran penyakit CVPD dari satu tanaman ke tanaman lainnya.  Untuk keberhasilan tindakan ini, diperlukan pemantauan populasi hama agar tindakan yang kita lakukan sesuai dengan kaidah pengelolaan hama terpadu.  Tindakan pengendalian dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti menggunakan perangkap serangga berwarna kuning berperakat, pemanfaatan parasitoid maupun pengendalian dengan menggunakan insektisida.
Menurut Triwiratno et al. (2001), predator Coccinellidae stadia larva instar I-IV mampu memangsa nimfa kutu loncat (D. citri) sebanyak 23 ekor selama 24 jam.  Menurutnya, populasi D. citri di rumah kasa setelah pelepasan predator Coccinellidae pada jenis jeruk Keprok, Manis, Besar dan Hybrid adalah 0 ekor.  Penggunaan insektisida sistemik masih menjadi pilihan untuk menekan serangan D. citri pada tanaman jeruk.  Beberapa pestisida yang bisa digunakan diantaranya: Curacron 500EC, Matador 25EC, Mavrik 50EC, Perfekthion 400EC, Supracide 40EC (Komisi Pestisida, 1993).

3.  Penggunaan Varietas Tahan

Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk menekan tingkat serangan penyakit CVPD.  Perbedaan genetik masing-masing varietas merupakan salah satu penyebab perbedaan ketahanan terhadap suatu patogen.  Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan varietas tahan mampu meminimalisir kerusakan akibat penyakit CVPD.  Berikut ini beberapa varietas jeruk dengan berbagai kriteria ketahanannya.
Tabel 1.  Kriteria ketahanan beberapa varietas jeruk terinfeksi CVPD isolat Lumajang setelah inokulasi.
Varietas
Intensitas Serangan
6 bulan setelah inokuasi (%)
Tinggi Tanaman (cm)
Kriteria Ketahanan
Konde Purworejo
4,49 a
28,13 a
Agak toleran
Manis Punten
13,30 b
17,83 a
Peka
Jeruk Purut
14,80 b
32,66 a
Peka
Jeruk Nambangan
3,53 a
44,33 a
Toleran
Japansche citroen
5,95 a
27,60 a
Peka
Rough Lemon
11,10 b
37,60 a
Peka
Carizo citrange
5,17 a
19,00 a
Peka
Citrus orlando
21,37 c
30,30 a
Sangat peka
Citrus zanzibar
5,68 a
30,60 a
Peka
Marsh seedless
18,47 c
14,25 a
Peka

Uji Duncan Taraf 5%
Uji t 0,05

Sumber: Dwiastuti, ME (2000)

Berdasarkan Tabel 1, beberapa varietas jeruk diketahui memiliki ketahanan berbeda terhadap serangan penyakit CVPD.  Varietas jeruk yang toleran terhadap penyakit CVPD di antaranya adalah Konde Purworejo, Jeruk Nambangan.  Untuk menunjang keberhasilan penerapan di lapangan, maka diperlukan ketersediaan bibit jeruk tahan penyakit dalam jumlah yang memadai, sehingga siklus penyakit dapat dicegah perkembangannya.

4.   Perlakuan Perendaman Bibit Jeruk dengan Senyawa Kimiawi

          Untuk memperoleh bibit jeruk yang bebas penyakit dapat dilaksanakan melalui teknik penyambungan tunas pucuk secara in vitro.  Penggunaan senyawa kimia untuk menekan serangan CVPD dapat dilakukan terutama pada fase pembibitan.  Beberapa penelitian membuktikan bahwa penggunaan senyawa kimiawi dapat menginduksi ketahanan pada tanaman dari serangan patogen.  Di China pengadaan bibit jeruk bebas penyakit melalui penyambungan masih dianggap kurang sehingga tunas pucuk tersebut perlakuannya masih ditambah dengan kombinasi pencelupan matat tempel jerukd alam air panas atau dalam larutan antibiotik tetrasiklin 1.000-2.000 ppm selama 2 jam, dalam kurun waktu 5 tahun tanaman masih terbebas dari penyakit greening huanglongbig (Chung & Zhou, 1987 dalam Roesmiyanto et al., 2000).
          Menurut Roesmiyanto et al. (2000), tanaman yang direndam dalam larutan penisilin 1000 ppm, pada umur 15 minggu setelah perlakuan tidak menunjukkan adanya gejala CVPD serta memberikan penampilan yang lebih baik.  Hal ini terjadi karena penisilin adalah antibiotik spektrum luas yang dapat mematikan banyak jenis bakteri dalam tanaman jeruk.  Beberapa penelitian membuktikan bahwa, senyawa kimia tertentu mampu menginduksi ketahanan terhadap penyakit tanaman.

5.  Teknologi Infus Batang pada Tanaman Dewasa

          Teknologi infus batang telah banyak diterapkan ketika terjadi endemi penyakit CVPD di Sumatera Selatan.  Menurut Pracaya (1997),  tanaman jeruk yang sakit ringan dapat diobati dengan senyawa oxytetracycline-HCl (Terramycin)  melalui cara penginfusan.  Sebanyak 5 g bahan ini dilarutkan dalam 10 l air untuk 10-20 pohon (0,5-1 l per mst).  Penginfusan sebaiknya dilakukan pada sore sampai malam selama lebih kurang 12 jam untuk mencegah terjadinya kerusakan larutan dan dilakukan selama 2 malam berturut-turut.  Penginfusan ini harus dibarengi dengan pemupukan tanaman secara teratur dan setelah diadakan penginfusan sebaiknya dilakukan penyemprotan insektisida guna menekan serangan hama yang bisa memicu munculnya penyakit baru.

6.  Eradikasi Selektif Tanaman yang Terserang

          Eradikasi selektif pada tanaman terserang merupakan salah satu tindakan yang dapat menekan serangan dan penyebaran penyakit CVPD. Tindakan eradikasi selektif ini jarang dilakukan petani karena mereka menganggap secara ekonomi tindakan ini merugikan.  Sepintas anggapan ini benar, namun jika kita telaah dari segi ekologi penyakit maka tindakan ini dapat memutus siklus penyebaran dari suatu patogen.  Di Afrika Selatan, untuk menekan serangan CVPD dilakukan eradikasi selektif pada tanaman atau bagian tanaman yang terserang dengan didasarkan pada intensitas serangan dan umur tanaman (Tabel 2).  Apabila tindakan ini dilakukan, sudah tentu penyebaran penyakit CVPD ke tanaman sehat akan semakin berkurang.



Tabel 2.  Tindakan eradikasi selektif tanaman jeruk yang terinfeksi CVPD
Umur Tanaman (tahun)
Jumlah Kanopi yang Bergejala
Perlakuan
< 5
Gejala sedikit
Eradikasi tanaman terinfeksi
6-10
< 75%
Membuang cabang yang terinfeksi
6-10
> 75%
Eradikasi tanaman terinfeksi
> 10
< 40%
Membuang cabang yang terinfeksi
> 10
> 40%
Eradikasi tanaman terinfeksi
Sumber: Davis et al., 2005.

7.  Penggunaan Tanaman Tapak Dara
          Tapak dara (Catharanthus roseus) telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk penumpas kanker. Tanaman ini diketahui dapat digunakan untuk memerangi bakteri penyebab penyakit CVPD. Manfaat lain tapak dara itu ditemukan oleh tim ilmuwan dari Agricultural Research Service (ARS), University of Ronda Indian River Research and Education Center-di Fort Pierce, Florida, Amerika Serikat.  Tapak dara terbukti sebagai alat pemindai yang efektif untuk mengendalikan penyakit Huang-longbing (HLB), kata Yongfing Duan, peneliti di Laboratorium Riset Hortikultura ARS.  Mereka menemukan bahwa tapak dara terbukti dapat menjadi pengganti jeruk karena mudah terinfeksi bakteri-um HLB dan merespons senyawa antibiotik dengan baik yang diuji untuk mengurangi infeksi. Mereka juga merendam potongan tapak dara yang terinfeksi dalam beragam senyawa kimia dan menemukan bahwa dua di antaranya berpotensi sebagai obat pengendali HLB. Namun temuan ini masih terbatas untuk pengujian di dalam rumah kaca dengan senyawa kimia penicillin G sodium dan biocide 2,2-dibromo-3-nitri-lopropionamide (DBNPA) (Anonim, 2010).


PENUTUP

Penyakit CVPD merupakan penyakit penting yang menyerang tanaman jeruk sehingga diperlukan tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit tersebut.  Berbagai strategi pengendalian dapat dilakukan di antaranya melalui 1) tindakan karantina, 2) pengendian serangga vektor D. citri, 3) penggunaan varietas tahan, 4) perlakuan perendaman bibit jeruk dengan senyawa kimiawi, 5) teknologi infus batang pada tanaman dewasa, 6) eradikasi selektif tanaman yang terserang serta 7) penggunaan tanaman tapak dara. Pengendalian ini akan dapat berhasil bila semua pihak yang terlibat bisa berperan aktif dalam upaya pelaksanaannya.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim.  2010.  Tapak Dara Membantu Pengendalian Hama Jeruk (http://www.bataviase.co.id). Diakses 26 Januari 2011.
Davis, R., Tony Gunua, Glenn Bellisa and Judy Grimshaw.  2005.  Huanglongbing disease of citrus trees.  Pest Advisory Leaflet No. 45.  June 2005.
Dwiastuti, ME.  2000.  Evaluasi ketahanan varietas jeruk terhadap penyakit CVPD isolat Lumajang.  J. Hort. 10(2): 121-125.
Komisi Pestisida.  1993.  Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan.  Departemen Pertanian.
Kornida, F dan Pejabat POPT.  2008.  Hasil pemantauan daerah sebar organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) di propinsi Sumatera Selatan Tahun 2008.  Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Palembang dan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Sumsel.  Palembang, 18 Oktober 2008.
Nurhadi. 1993. Aspek epidemi penyakit CVPD: prediksi kecepatan perkembangan penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap kecepatan perkembangan. Penelitian Hotikultura 5(2):71-72.
Pracaya.  1997.  Hama dan Penyakit Tanaman.  Penebar Swadaya.  Jakarta.
Roesmiyanto, Lilik Setyobudi, Sri Handayani.  2000.  Pengkajian penisilin untuk elemen pendukung ketahanan bibit jeruk terhadap CVPD.  J. Hort. 10(2): 121-125.
Semangun, H.  2004.  Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.  Gadjah Mada University Press.  Yogyakarta.
Triwiratno, A., A. Supriyant, H. Mulyanto.  2000.  Pengendalian hayati hama utama jeruk dalam perbaikan pengelolaan pohon induk jeruk bebas penyakit di pot dalam rumah kasa.  Posiding Seminar dan Ekspose Teknologi BPTP Jawa Timur.  Malang, 11-12 September 2001.
Wahyuningsih, E.  2009.  CVPD pada jeruk (Ctrus spp.) dan upaya pengendaliannya.  Vis Vitalis 02(2): 65-73.
Wijaya, IN.  2007.  Penularan Penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) oleh Diaphorina citri Kuwayama (Homoptera: Psyllidae) pada Tanaman Jeruk Siam.  Agritrop 26 (4): 140-146.

Perbaikan Teknologi Pasca Panen Padi


Tinjauan Perbaikan Teknologi Pasca Panen Padi untuk
Menekan Serangan Serangga Hama Gudang

           
Syahri dan Tumarlan Thamrin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
Jl. Kol H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang
Email: bptp-sumsel@litbang.deptan.go.id

Abstrak
            Serangga merupakan salah satu hama penting pada penyimpanan padi.  Beberapa jenis serangga seperti kumbang bubuk beras (Sitophilus oryzae), kumbang bubuk gabah (Rhyzopertha dominica), ngengat beras (Sitotroga cerealella), ngengat gabah (Corcyra cephalonica) masih menjadi kendala dalam penyimpanan padi.  Tindakan pasca panen yang dilakukan terkadang masih kurang tepat sehingga menyebabkan meningkatnya serangan serangga hama gudang, sehingga diperlukan teknologi pasca panen yang mampu menurunkan kehilangan hasil akibat serangga gudang.  Teknologi tersebut dilaksanakan dengan jalan memodifikasi faktor-faktor lingkungan agar tidak sesuai dengan kehidupan serangga, seperti dengan mengurangi kadar air bahan melalui penjemuran maupun penggunaan mesin pengering, perbaikan tempat penyimpanan, pemanfaatan pestisida nabati, sistem kedap serta langkah kuratif melalui tindakan fumigasi.

Abstract
The insects, one of the important strorage pests of rice. Many kinds of insects such as Rice Weevil (Sitophilus oryzae), Lesser Grain Borer (Rhyzopertha dominica), Angoumois Grain Moth (Sitotroga cerealella), rice moth (Corcyra cephalonica) is still a constraint in rice storage. The actions was carried out post-harvest still is not quite right sometimes causing increased insect pest warehouse, necessitating post-harvest technologies that can reduce yield losses due to insect warehouse. The technology was implemented by modifying the environmental factors so as not in accordance with insect life, such as by reducing the water content of the material through the drying and the use of dryer, storage improvements, botanical pesticides, hermetic system as well as curative measures through fumigation.

PENDAHULUAN

            Bahan pangan seperti beras diperlukan sepanjang masa sebagai kebutuhan pokok manusia sebelum sandang dan papan.  Seiring dengan itu, tuntutan bahan pangan semakin hari semakin meningkat, baik jumlah maupun mutunya.  Namun, produktivitas tanaman pangan waktunya sangat terbatas baik oleh musim atau keadaan alam sehingga mengakibatkan produksinya hanya bisa diperoleh pada waktu tertentu saja.  Oleh karena itulah, berbagai tindakan dilakukan manusia mulai dari pengolahan hasil hingga pada penyimpanan produk pangan agar ketika dibutuhkan produk tersebut dapat tersedia.  Berbagai tujuan penyimpanan bahan antara lain untuk persediaan konsumsi, menunggu untuk dipasarkan, mendapatkan harga jual yang tinggi hingga pada keperluan perbenihan.
Kendala yang dihadapi dalam penyimpanan adalah adanya gangguan hama gudang berupa serangga.  Hama gudang (storage pest) merupakan salah satu penyebab kerusakan hasil pada produk simpanan.  Kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama gudang ini dapat secara langsung menurunkan kualitas maupun kuantitas produk yang disimpan.  Menurut Imdad dan Nawangsih (1999), di negara berkembang termasuk Indonesia, kerusakan bahan hasil pertanian diperkirakan rata-rata mencapai 25-50% dari total produksi, sedangkan di negara maju kerusakan yang terjadi hanya berkisar antara 5-15%.  FAO melaporkan kehilangan hasil panen di negara-negara berkembang berkisar antara 10-13%, diantaranya berkisar 5% oleh berbagai jenis hama gudang. Bulog memperkirakan susut bobot beras sekitar 25%, terdiri dari 8% waktu panen, 5% waktu pengangkutan, 2% waktu pengeringan, 5% waktu penggilingan, dan 5% waktu penyimpanan (Widjono et al., 1982). Menurut Kartasapoetra (1991), di Malaysia pengurangan berat pada beras dalam simpanan mencapai 3-10%, sedangkan di Thailand penurunan berat dalam waktu 8 bulan yakni 1,14-3,41%.
Kerusakan yang terjadi dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Kerusakan atau kerugian yang bersifat langsung berupa pengurangan berat komoditi, pengurangan kandungan nutrisi dari komoditi, penurunan daya tumbuh, dan penurunan harga pasar. Kerugian tidak langsung seperti perpindahan kelembaban nisbi, pemanasan internal, pertumbuhan cendawan yang menghasilkan aflatoksin dan bakteri.
Beberapa jenis serangga dapat menyebabkan kehilangan hasil pada produk simpanan.  Serangga-serangga tersebut di antaranya kumbang bubuk beras (Sitophilus oryzae), kumbang bubuk gabah (Rhyzopertha dominica), ngengat gabah (Sitotroga cerealella), Dinoderus spp., kumbang penggerek butir padi-padian (Lophocateres pusillus), ngengat beras (Corcyra cephalonica).  Serangga ini mempunyai kemampuan cepat berkembang biak sehingga dalam setahun dapat menghasilkan beberapa generasi, dan dapat berpindah bersama-sama dengan komoditi. Selain itu serangga hama pada gudang mempunyai kemampuan adaptasi yang besar terhadap keadaan kering sehingga dapat berkembang dengan baik pada kondisi komoditi yang disimpan dengan kadar air relatif rendah.
Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap teknologi penyimpanan bahan pangan menyebabkan semakin meningkatnya risiko kerusakan akibat hama gudang.  Oleh karena itulah, dalam tulisan ini akan ditinjau mengenai beberapa teknologi penyimpanan yang mungkin bisa diaplikasikan oleh masyarakat sehingga kerusakan hasil pasca panen akibat serangga hama gudang dapat dikurangi.

Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Aktivitas Hama Gudang
            Hama gudang dari golongan serangga merupakan organisme hidup yang kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor seperti faktor bitoik maupun abiotik (fisik).  Faktor biotik sendiri dapat berupa ketersediaan makanan, gangguan musuh alami maupun aktivitas biologi dari serangga hama tersebut.  Sedangkan, faktor abiotik sendiri berupa pengaruh suhu, kelembaban, kadar air bahan, cahaya.  Berbagai faktor ini sangat mempengaruhi aktivitas serangga hama gudang.

1.  Temperatur/Suhu

Serangga hama gudang memerlukan keadaan suhu udara minimum dan maksimum untuk kelangsungan hidupnya.  Suhu minimum yaitu suhu terendah dimana produk pertanian dalam simpanan masih dapat hidup.  Sedangkan suhu maksimum merupakan suhu tertinggi di mana hama produk simpanan masih dapat hidup.  Suhu minimum yakni 5oC sedangkan suhu maksimumnya yakni 45oC. Pada umumnya suhu optimum untuk perkembangan hama gudang yakni 25-30oC (Kartasapoetra, 1991).
            Suhu sangat mempengaruhi aktivitas biologi serangga gudang, di mana pada kondisi suhu tinggi maka masa inkubasi (penetasan) telur serangga akan berlangsung lebih cepat.  Menurut Kartasapoetra (1991), kumbang Tribolium castaneum memiliki masa indukasi cepat yakni 3,5 hari pada bulan Juli-Agstus (suhu tinggi) dibandingkan dengan pada bulan April-Nopember yakni selama 12,2 hari.

2.  Kelembaban
            Kelembaban juga sangat mempengaruhi perkembangan serangga gudang.  Menurut Yos Sutyoso (1964) dalam Kartasapoetra (1991), hama Sitophilus oryzae yang dipelihara pada temperatur 21oC siklus hidupnya berbeda pada tingkat kelembaban berbeda.  Menurutnya, pada kelembaban udara relatif 50% siklus hidup serangga tersebut 59 hari, sedangkan pada kelembaban udara 80% siklus hidup serangga tersebut hanya 37 hari.  Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban udara yang tinggi akan memperpendek siklus hidup hama yang berarti semakin banyak serangga yang muncul.  Selain itu, kelembaban juga akan sangat mempengaruhi kadar air bahan, artinya pada tingkat kelembaban udara yang tinggi pada umumnya kadar air bahan simpanan juga relatif tinggi.  Tingginya kadar air bahan menyebabkan risiko serangan serangga gudang meningkat dan pada umumnya kadar air bahan yang aman untuk penyimpanan yakni 4-8% (Tabel 1).
Tabel 1.    Hubungan natara kadar air biji dengan perubahan biji dan kehidupan hama gudang.
Kadar Air Bahan (%)
Perubahan Biji
>45
Terjadi proses perkecambahan biji di tempat penyimpanan.
18-20
Di dalam ruang penyimpanan akan timbul uap panas. Biji dapat berkecambaha, ettapi cendawan dan bakteri yang terbawa akan berkembang subut dan merusak biji
12-18
Serangga akan merusak biji dalam simpanan
8-9
Kehidupan serangga gudang dapat dihambat
4-8
Keadaan aman untuk menyimpan biji.
Sumber: Neergaard (1977) dalam Imdad dan Nawangsih (1999)

3.  Cahaya
Warna cahaya yang berbeda akan memancarkan perbedaan panjang gelombang. Semakin panjang gelombang yang dipancarkan maka akan semakin besar pula energi yang dihasilkannya. Molekul energi yang dipancarkan juga akan semakin rapat, semakin rapat pancaran molekul yang yang mengandung molekul energi ini akan mengakibatkan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan mahluk hidup dalam hal ini serangga. Semakin besar pula energi yang dipancarkan akan semakin besar juga kenaikan suhu yang ditimbulkannya dalam satuan luas yang tetap atau konstan.  Menurut Kartasapoetra (1991), hama-hama gudang saat melakukan kopulasi dan meletakkan telurnya serta aktivitas pengerusakan sangat menyukai kondisi cahaya yang gelap.

3.  Aerasi
            Aerasi atau sirkulasi udara dalam penyimpanan akan sangat mempengaruhi kehidupan serangga gudang.  Pada umumnya pada kondisi oksigen yang rendah maka akan terjadi kematian pada serangga gudang.  Berdasarkan hasil penelitian terhadap Sitophilus sp. yang ditempatkan pada tempat dengan aerasi yang diatur, maka diketahui bahwa apabila kadar CO2 > 40% atau O2 <2%, maka hama tersebut akan mati dalam semua tingkat pertumbuhannya, sedangkan apabila kadar CO2 dalam kondisi biasa dan kadar O2 hanya 4%, pada temperatur 29oC akan terjadi kematian total pada imago Sitophilus sp. Apabila kadar CO2 5% dan O2 seperti biasa di udara, maka akan terjadi keamtian total setelah + 3 minggu (Kartasapoetra, 1991).

Serangga Hama Gudang dan Kerusakannya

1.  Kumbang Bubuk Gabah (Sitophilus oryzae) (Coleoptera: Curculionidae)
Kumbang S. oryzae berukuran 3,5-5 mm, berwarna coklat agak kemerahan dan setelah tua menjadi hitam.  Terdapat 4 bercak berwarna kuning kemerahan di kedua belah sayapnya.  Larvanya tidak berkaki dan siklus hidup kumbang berkisar 28-90 hari.  Akibta yang ditimbulkan menyebabkan beras mengalami susut berat mencapai 23%.
2.   Kumbang Penggerek Gabah (Rhyzopertha dominica) (Coleoptera: Bostrichidae)
Berukuran panjang 1,5-3 mm, tubuh silindris, kepala terletak di bawah pronotum.  Kumbang berwarna coklat gelap atau hitam.  Kumbang betina mampu menghasilkan telur sebanyak 300-500 butir dan diletakkan secara tunggal atau mengelompok dalam biji.  Lama siklus hidup sekitar 2 bulan.  Gejala serangannya ditandai dengan berlubangnya gabah dan adanya sisa gerekan berupa dedak halus.  Penurunan hasil yang ditimbulkan kumbang ini yakni mencapai 7% (Pracaya, 1997).


3.  Ngengat Beras (Corcyra cephalonica) (Lepidopetra: Pyralidae)
Ngengat berwarna coklat keabu-abuan pucat, telur berjumlah 200 butir dan menetas 3-5 hari setelah diletakkan.  Larva berwarna putih krem dan akan merusak material simpanan dengan cara menggandeng butiran materail dengan air liurnya.
4.  Ngengat Gabah (Sitotroga cereallela) (Lepidoptera: Gelechiidae)
Gejala kerusakannya berupa lubang-lubang bekas gerekan dan adanya sisa gerekan berupa tepung.  Ngengat dewasa berwarna kekuningan sampai merah muda yang mengilap.  Tubuh panjang ramping berukuran 3-4 mm dan larvanya berwarna putih dengan kepala coklat gelap.

Perbaikan Teknologi Pasca Panen
1.  Pengurangan Kadar Air Bahan Simpanan
            Kadar air adalah kandungan air yang terdapat di dalam butiran gabah, yang dapat dinyatakan dengan persen. Telah kita ketahui bahwa, tingginya kadar air bahan akan memacu meningkatnya intensitas serangan serangga gudang. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dalam rangka mengurangi kadar air bahan.  Selama ini, petani sendiri telah tahu mengenai kadar air gabah.  Namun, kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya peralatan yang dimiliki petani untuk bisa mengukur kadar air bahan sehingga mereka lebih mengandalkan kebiasaan yakni dengan cara setempat.  Di beberapa daerah di Sumatera Selatan, pengukuran kadar air gabah dilakukan petani dengan cara menggigit gabah tersebut.  Artinya jika gabah digigit retak-retak, gabah tersebut dianggap utuh kalau digiling.  Cara tradisional ini memang mudah dilakukan tapi tentunya dengan tingkat keakuratan yang diragukan.  Kesalahan pengukuran yang dilakukan akan menyebabkan tingginya risiko serangan serangga gudang.  Karena kadar air akan sangat mempengaruhi kelembaban yang justru disukai serangga.
              Beberapa alat pengukur kadar air gabah telah dipasarkan.  Alat ukur kadar air yang sekarang terdapat di pasaran adalah alat ukur kadar air model digital. Alat ini lebih praktis dan mudah pemakaiannya. Namun, harga alat ini masih tergolong mahal. IRRI telah mengembangkan alat pengukur kadar air gabah yang praktis dan dengan harga yang terjangkau.
Apabila setelah pengukuran kadar air gabah masih relatif tinggi dari normal, maka diperlukan perlakuan yang benar untuk menguranginya tetapi dengan syarat tidak merusak kualitas bahan simpanan. Tindakan pengurangan kadar air gabah dapat dilakukan dengan cara berikut.

2.  Penjemuran Bahan
Penjemuran merupakan cara praktis untuk mengurangi kadar air gabah dalam jumlah besar di tingkat petani.  Dalam penjemuran ini diperlukan tindakan lain seperti harus dilakukan pembalikan secara berkala.  Proses pengeringan di pedesaan umumnya masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu penjemuran di bawah panas matahari dengan alas tikar/terpal/plastik di halaman atau tanggul saluran/jalan. Selama penjemuran gabah dibiarkan di lapangan sedang bila turun hujan atau malam hari cukup ditutupi karung atau plastik. Selanjutnya Soemardi (1982), menyatakan bahwa pengeringan gabah dengan penjemuran menyebabkan kadar beras pacah dan susut bobot lebih tinggi dibandingkan penjemuran dengan mesin pengering. Menurut Wijaya (2005), kadar air gabah yang lebih rendah atau lebih tinggi dari 13,2% akan menurunkan hasil beras kepala.  Oleh karena itulah, selain untuk mengatasi tingginya serangan serangga gudang, penjemuran juga dapat mengurangi kerusakan gabah akibat tingginya kadar air gabah.  Hasil penelitian Nugraha et al. (2007) menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada tahapan pengeringan gabah pada ekosistem padi lahan irigasi sebesar 0,98%, untuk ekosistem padi lahan tadah hujan sebesar 1,05% dan pada ekosistem lahan pasang surut sebesar 1,52%

3.  Penggunaan Mesin Pengering (Box Dryer)
Untuk mengantisipasi adanya gangguan cuaca seperti ketika musim penghujan, maka tindakan pengurangan kadar air bahan secara tradisional dapat diperbaiki dengan memanfaatkan mesin pengering (box dryer).  Pengeringan gabah dalam jumlah kecil dapat dilakukan dengan menggunakan oven.  Berbagai jenis alat pengering telah dihasilkan dan dengan kapasitas yang beragam, salah satunya adalah alat pengering gabah berbahan bakar sekam (BBS).  Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mesin pengering harus memiliki persyaratan mampu menurunkan kadar air gabah hingga 13% dengan keragaman 1,5%. Alat pengering gabah BBS telah diterapkan di lahan pasang surut Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Keuntungan alat pengering kapasitas 3 ton ini antara lain: 1) waktu pengeringan berkisar 8-12 jam atau rata-rata 10 jam, lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran yang lamanya 1-2 hari, 2) rendemen pengeringan rata-rata meningkat 2,5%, 3) rendemen beras giling rata-rata meningkat 2,5%, 4) persentase beras kepala rata-rata meningkat 17%, 5) biaya pengeringan rata-rata sebesar Rp 25/kg GKP berarti lebih rendah dibandingkan dengan biaya penjemuran (Rp 50/kg GKP) (BPTP Sumsel, 2009). 

4.  Pengaturan Tempat Penyimpanan
            Tempat penyimpanan juga sangat mempengaruhi kesukaan serangga gudang terhadap gabah yang disimpan. Tempat penyimpanan yang tidak baik dengan kelembaban tinggi dan temperatur yang tidak sesuai akan memacu perkembangbiakan serangga.  Walaupun kadar air gabah sudah memenuhi standar setelah dikeringkan, akan tetapi jika tempat penyimpanan tidak sesuai justru akan meningkatkan kembali kadar air gabah.  Tempat penyimpanan ini meliputi ruang penyimpanan maupun material yang digunakan untuk menyimpan bahan.

5.  Penggunaan Pestisida Nabati
            Penggunaan pestisida nabati untuk menekan serangan serangga gudang masih jarang diterapkan di tingkat masyarakat.  Hal ini selain karena terbatasnya pengetahuan juga karena masih ada anggapan bahwa daya bunuh pestisida nabati masih rendah dan relatif lambat.  Padahal pemanfaatan pestisida nabati ini sangat diperlukan terlebih lagi jika produk simpanan tersebut akan dikonsumsi.  Kardinan (2001) melaporkan beberapa jenis tanaman bisa menjadi pestisida nabati untuk menekan serangan serangga gudang (Tabel 2).
Tabel 2.    Hasil pengujian terhadap beberapa jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati
No.
Nama Tumbuhan
Bagian Tumbuhan
Serangga Uji
1.
Babadotan, Ageratum conyzoides
Daun, bunga, batang, akar
Tribolium castaneum
2.
Jeringau, Acorus calamus
Rimpang
Sitophilus sp.
3.
Bengkuang, Pachyrhizus erosus
Biji
Callosobruchus analis, Sitophilusi sp.
4.
Serai dapur, Cymbopogon nardus
Daun
Callosobruchus analis
5.
Bawang putih, Allium sativum
Umbi
Callosobruchus analis
6.
Tuba, Derris eliptica
Akar
Sitophilus sp., Carpophilus sp.
7.
Brotowali, Tinospora sp.
Batang
Tribolium castaneum
8.
Srikaya, Annona squamosa
Biji
Callosobruchus analis
Sumber: Kardinan (1998).
Rukmana dan Oesman (2002), aplikasi ekstrak nimba pada penyimpanan ternyata ampuh untuk mengendalikan hama gudang.  Adapaun cara aplikasi daun nimba kering dip penyimpanan adalah sebagai berikut.
  • Disiapkan 2-5 kg daun nimba kering, kemudian dicampur dengan 100 kg gabah hasil pertanian yang akan disimpan.
  • Karung yang digunakan untuk mengemas biji yang akan disimpan direndam dalam 100 liter air yang emnagndung 2-10 kg biji nimba.
  • Karung dikeringkan kembali, dan biji-bijian yanga akn disimpan dimasukkan ke dalamnya.

6.  Pemanfaatan Sistem Kedap (Hermetic Storage)
Penyimpanan kedap udara mencakup penempatan gabah/beras/benih ke dalam kontainer (wadah) yang menghentikan pergerakan udara (oksigen) dan air antara atmosfir luar dan gabah/benih yang disimpan. Teknologi ini sudah mulai diterapkan di beberapa negara di Asia Tenggara.  Sistem ini dapat menggunakan kontainer plastik khusus atau kontainer yang lebih kecil terbuat dari plastik atau baja atau bahkan pot dari tanah. Ukuran penyimpan dapat berkisar antara 25 liter sampai 300 ton. Sistem ini dapat digunakan untuk gabah, beras, dan serealia lainnya seperti jagung (Syam, 2006). Penyimpanan kedap udara memperbaiki kualitas gabah dan viabilitas benih karena cara ini menjaga stabilitas kandungan air dan mengurangi kerusakan karena hama tanpa penggunaan pestisida. Viabilitas atau kelangsungan hidup benih di daerah tropis dapat dapat ditingkatkan dari 6 sampai 12 bulan. Penyimpanan tertutup mengendalikan serangga karena serangga menggunakan oksigen yang ada sepanjang respirasi dan mengeluarkan karbon dioksida (misalnya tingkat oksigen dapat berkurang dari 21% menjadi kurang dari 5% dalam 10-21 hari) (Anonim, 2005). Pada kondisi oksigen rendah ini, aktivitas serangga menjadi minimal dan reproduksi terhenti. Selain itu, tikus dan burung tidak tertarik terhadap gabah/benih yang disimpan dengan cara ini.
IRRI telah mengembangkan plastik Super Bags-IRRI yang menerapkan sistem kedap udara (hermetis). Menurut Rickmann dan Gummert, penggunaan IRRI Super Bags mampu menekan perkembangan serangga.  Hal ini ditunjukkan dengan jumlah serangga yang hidup setelah 12 bulan penyimpanan yakni 1,2 ekor/kg material, jauh lebih rendah dibandingkan dengan penyimpanan terbuka yakni 27,2 ekor serangga/kg material.  Chin dan Kieu (2006) juga menyatakan bahwa populasi R. dominica setelah penyimpanan selama 12 bulan dengan menggunakan IRRI bag yakni hanya sebesar 14 ekor/120 g benih padi.

7.  Fumigasi
            Fumigasi merupakan tindakan pengendalian hama gudang dengan menggunakan senyawa kimiawi berupa fumigan.  Pihak Karantina Pertanian sendiri melalkukan upaya fumigasi untuk menekan serangga hama gudang yang tergolong OPT maupun OPTK.  Beberapa jenis senyawa fumigan yang sering digunakan di antaranya metilbormide, carbon disulphide, hydricianic acid, phospine, ethylene oxide, ethylene dibromide.  Menurut Imdad dan Nawangsih (1999), serangga seperti kumbang bubuk beras, ngengat beras, ngengat gabah, kumbang penggerek gabah dapat ditanggulangi dengan menggunakan fumigan carbon disulphide (CS-2) dan phostoxin tablet. Dosis penggunaan yakni 30 cc CS2/m3 bahan selama 24-48 jam dalam ruang yang tertutup.  Dosis penggunaan phostoxin yakni 1 tablet/ kuintal bahan.


PENUTUP

            Serangga gudang memiliki arti penting dalam penyimpanan produk pasca panen, karena secara langsung dapat menyebabkan kerusakan bahan simpanan baik secara kuantitas maupun kualitas.  Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi pasca panen yang baik agar kehilangan hasil akibat serangan serangga gudang dapat dikurangi.  Beberapa teknologi yang diterapkan didasarkan pada perilaku dan faktor fisik yang mempengaruhi kehidupan serangga, seperti pengaturan suhu, kelembaban, cahaya, aerasi yang tidak sesuai untuk perkembangan serangga. Teknologi yang dapat dipakai diantaranya pengungaran kadar air bahan baik melalui penjemuran maupun penggunaan mesin pengering, pengaturan tempat penyimpanan, penggunaan pestisida nabati yang dicampurkan pada bahan simpanan, pemanfaatn sistem kedap dan fumigasi.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim.  2005.  Penyimpanan Benih/Gabah Sistem Tutup Kedap Udara (Hermetis).  Lembar Fakta Padi.
Chin, DV dan TT. Kieu.  2006.  Study on hermetically sealed storage system for rice seeds.  Omonrice 14:64-70.
Imdad, H.P. dan A.A. Nawangsih.  1999.  Menyimpan Bahan Pangan.  Penebar Swadaya.  Jakarta.
Kardinan, A.  2001.  Pestisida Nabati: Ramuan & Aplikasi.  Penebar Swadaya.  Jakarta.
Kartasapoetra, A.G.  1991.  Hama Hasil Tanaman dalam Gudang.  Rineka Cipta. Jakarta.
Nugraha, S.  2008.  Perangkat praktis untuk mengukur kadar air gabah dan beras.  Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia.  BB Pasca-Panen.
Pracaya.  1997.  Hama dan Penyakit Tanaman.  Penebar Swadaya.  Jakarta.
Rukmana, R dan Y.Y. Oesman.  2002.  Nimba Tanaman Penghasil Pestisida Alami.  Kanisius.  Yogyakarta.
Soemardi. 1982. Produksi, Rendemen dan Mutu Gabah/Beras Hasil Panen Petani. Laporan Kemajuan Seri Teknologi Pasca Panen No. 15 (Padi). BPTP Bogor Sub BPTP Karawang.
Sudarmo, S.  1998.  Pengendalian Serangga Hama Sorgum.  Kanisius.  Yogyakarta.
Syam, M.  2006.  Penyimpanan Benih/Gabah Sistem Tutup Kedap Udara (Hermetik).  Informasi Ringkas Teknologi Padi.