Selamat datang di Komunitas Blog Hama dan Penyakit Tumbuhan

Selasa, 25 Januari 2011

Trichoderma spp.

POTENSI PEMANFAATAN CENDAWAN Trichoderma spp.
SEBAGAI AGENS PENGENDALI PENYAKIT TANAMAN
DI LAHAN RAWA LEBAK

Syahri dan Tumarlan Thamrin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
Jl. Kol. H. Burlian Km. 6 Palembang
Email: bptp-sumsel@balitbang.deptan.go.id

Abstrak

    Rawa lebak merupakan salah satu lahan yang berpotensi untuk dijadikan lahan budidaya tanaman. Namun, permasalahan penyakit tanaman masih menjadi kendala dalam budidaya tanaman di lahan rawa lebak.  Salah satu agensia hayati yang dapat mengendalikan penyakit tanaman yakni cendawan Trichoderma spp. Cendawan ini diketahui dapat mengendalikan beberapa patogen tanaman seperti Pseudomonnas solanacearum, Pythium spp., Rhizoctonia solani, Fusarium spp., Botrytis cinerea, Sclerotium rolfsii dan Sclerotinia homoeocarpa dan merupakan cendawan yang relatif tahan terhadap kemasaman tanah.  Cendawan Trichoderma spp. memiliki beberapa mekanisme penekanan terhadap patogen yakni melalui mekanisme mikoparasit, antibiosis, kompetisi, induksi resistensi, serta mampu memacu pertumbuhan tanaman.

PENDAHULUAN

Luas rawa lebak di Indonesia sekitar 13,3 juta ha, di Sumatera Selatan luas rawa lebak yaitu 368.685 ha (Irianto et al.,, 2004).  Di Sumatera Selatan luas lahan lebak yang sesuai untuk pengembangan padi sawah mencapai 200.411 ha (Irianto et al., 2004).  Menurut Purwanto (2006), kendala-kendala dalam pemanfaatan lahan rawa lebak di antaranya 1) kendala fisik meliputi genangan air, tingginya kemasalaman, adanya zat beracun serta beragamnya tingkat kesuburan tanah, 2) kendala biologis meliputi gangguan hama, penyakit dan gulma, serta 3) kendala sosial ekonomi masyarakat.  Selain kendala tata air dan teknologi budidaya di daerah rawa lebak, faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas adalah masalah hama dan penyakit tanaman yang merupakan suatu masalah yang masih sulit diatasi dalam budidaya tanaman.  Beberapa penyakit yang cukup penting pada tanaman di daerah rawa lebak khususnya penyakit tular tanah di antaranya ialah Rhizoctonia (penyebab rebah kecambah), Sclerotium (busuk leher akar) dan Fusarium (layu fusarium) (Semangun, 2004).

Pengendalian terhadap penyakit yang dilakukan selama ini biasanya menggunakan bahan kimia sintetik yang dianggap praktis dan hasil yang cepat terlihat. Penggunaan fungisida yang terus-menerus dan intensif dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan dan munculnya ras/strain patogen yang resisten terhadap fungisida tersebut.  Oleh karena itu harus dicari suatu alternatif pengendalian yang aman dan efektif dalam mengendalikan penyakit-penyakit yang menyerang tanaman.

Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan suatu teknologi yang aman berbasis mikrobia yang berasal dari kekayaan hayati (alami).  Baker dan Cook (1993) menyatakan bahwa pengendalian hayati telah berhasil dilakukan di tanah-tanah pertanian yang supresif terhadap patogen.  Keberhasilan aplikasi di tanah-tanah yang supresif tersebut disebabkan karena kelimpahan mikroorganisme  antagonis dan saprofit di sekitar perakarannya.
Cendawan Trichoderma spp. merupakan agensia pengendalian hayati yang sangat potensial untuk dikembangkan dan diaplikasikan.  Cendawan ini diketahui dapat mengendalikan beberapa patogen tanaman seperti Pseudomonnas solanacearum, Pythium spp., Rhizoctonia solani, Fusarium spp., Botrytis cinerea, Sclerotium rolfsii dan Sclerotinia homoeocarpa (Aerts et al., 2002; Uchida, 2007; Harman, 2006; Bal & Altintas, 2006; Harman et al., 2004; Moussa, 2002).  Kondisi tanah rawa lebak dengan pH 4,5-5,0 memungkinkan Trichoderma  bekerja secara efektif.  Ahmad  dan Baker (1987) melaporkan tingkat kolonisasi pada daerah rizosfer sangat tergantung dengan pH tanah dan temperatur.  Seperti diketahui bahwa tanah dengan pH lebih rendah lebih didominasi oleh aktivitas cendawan antagonis Trichoderma (Chet & Baker, 1981).  Dari haril penelitian mereka ternyata tanah yang mempunyai pH 8,1 mengandung Trichoderma hanya 1 x 102, tetapi pada tanah dengan pH 5,1, populasi Trichoderma mencapai 8 x 105.  Dengan kondisi yang relatif asam pada lahan rawa lebak yang banyak mendominasi lahan di Sumatera Selatan, memungkinkan potensi yang sangat tinggi dan sangat sesuai untuk aplikasi cendawan ini di lahan rawa lebak baik sebagai agens hayati dalam melindungi penyakit tanaman dan juga sebagai agens pemacu pertumbuhan tanaman.

PENGGUNAAN Trichoderma spp. UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

1.  Karakteristik
    Cendawan Trichoderma termasuk ke dalam Divisi Amastigomycotina, Kelas Deuteromycetes, Ordo Moniliales, Famili Moniliaceae dan Genus Trichoderma (Alexopoulus & Mims, 1979).  Koloni cendawan tumbuh cepat pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dengan permukaan putih sampai hijau dan anyaman misellium menyebar.  Pada koloni terbentuk zona cincin, sedangkan pada koloni yang lebih tua zona tersebut kurang nampak akibat adanya konidiofor baru pada bagian luar daerah pembentukan konidia.  Hifa hialin berdiameter 1,5-12 μm, septat berdinding halus dan bercabang-cabang.  Konidiofor bercabang banyak dan membentuk daerah seperti cincin pada media biakan.
2. Mekanisme Cendawan Trichoderma spp. dalam Mengendalikan Penyakit Tanaman
    Cendawan antagonis Trichoderma merupakan agens pengendali hayati yang mempunyai banyak mekanisme dalam menyerang dan merusak patogen tanaman.  Cendawan Trichoderma diketahui memiliki beberapa mekanisme dalam pengendalian penyakit tanaman seperti melalui mikoparasitisme, antibiosis, kompetisi nutrisi, melarutkan nutrisi anorganik, inaktivasi enzim patogen serta mekanisme induksi resistensi (Harman, 2006; Elad & Freeman, 2002).
2.a.  Mikoparasit dan Antibiosis
    Mikoparasit terjadi melalui parasitisasi hifa Trichoderma terhadap cendawan lainnya.  Menurut Harman (2004), Trichoderma mampu memproduksi senyawa ekstraseluler eksokitinase yang menghasilkan fungitoksik yang mampu mendegradasi dinding sel patogen.  Selain itu, hifa Trichoderma juga mampu memproduksi enzim yang mampu mendegradasi dinding sel.  Hifa yang telah berhasil mendegradasi dinding sel patogen, selanjutnya akan masuk ke dalam lumen cendawan target.
      Menurut Howell (2002), Trichoderma menghasilkan zat volatil seperti gas kromatografi yang terdiri dari acetaldehid, n-propanol, propional, isobutanol, n-butyraldehid, etil asetat, isobutil asetat, aseton yang dapat menghambat pertumbuhan R. solani, F. annosus,  F. oxysporum, P. domesticum, M. hiemalis, P. ultimum .  Beberapa enzim proteolitik yang dihasilkan Trichoderma memainkan peranan penting dalam penghancuran cendawan Sclerotium rolfsii.  Menurut Elad dan Freeman (2002), Trichoderma virens menghasilkan dua antibiotik yaitu gliotoxin (toksik terhadap R. solani) dan gliovirin (toksik terhadap Phytium spp.)

2.b.  Kompetisi
    Cendawan Trichoderma spp. diketahui mampu berkompetisi dengan cendawan patogen lainnya, terutama dalam hal pengambilan nutrien di tanah seperti karbon, nitrogen, makroelemen dan mikroelemen lainnya. Adanya kemampuan kompetisi tersebut menyebabkan terhambatnya pertumbuhan patogen tanaman (Elad & Freeman, 2002).

2.c.  Induksi Resistensi Trichoderma spp.
     Mekanisme ini menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatur sistem ketahanan menjadi aktif atau menstimulasi mekanisme resisten yang dimiliki oleh tanaman.  Menurut Elad dan Freeman (2002), induksi resistensi akan meningkatkan sekresi enzim pertahanan seperti protease, khitinase, peroxidase serta terjadinya lignifikasi pada dinding sel sehingga mampu menghambat perkembangan dan penyebaran patogen.
Mekanisme induksi resistensi dari Trichoderma spp. terjadi melalui kontak antara spora atau struktur propagatif dari jamur pada permukaan akar.  Struktur yang telah melekat pada permukaan akar tanaman akan menghasilkan sedikitnya tiga substansi kimia yang mampu meningkatkan pertahanan tanaman seperti peptida, protein dan senyawa kimia berbobot molekul rendah.  Induksi ketahanan oleh Trichoderma spp. dapat bersifat lokal dan juga sistemik (Harman et al., 2004).  Induksi resistensi ini dapat terjadi melalui dua cara yaitu produksi secara langsung pathogenesis-related (PR) protein serta fitoaleksin sebagai akibat serangan mikroorganisme patogenik (Heil & Bostock, 2002).
     Henis et al. (1983) melaporkan bahwa T. harzianum dapat mengendalikan S. rolfsii dan  R. solani.  Kucuk dan Kivanc (2002) juga menyatakan bahwa isolat T. harzianum T19 ternyata mampu menghambat hingga 100% perkembangan R. solani. Perlakuan Trichoderma spp. pada tanaman cabai di pembibitan efektif dalam menekan penyakit rebah kecambah oleh R. solani, dimana insidensi dan keparahan penyakit pada perlakuan Trichoderma spp. berkisar antara 0-60% dan 1-71% (Syahri, 2008).  Hal ini memperkuat penelitian Harman (2004) yang menyatakan bahwa Trichoderma spp. mampu menurunkan 78% penyakit pada tanaman kapas yang disebabkan oleh R. solani serta menurunkan hingga 40% penyakit yang disebabkan Phytophthora capsici pada tanaman cabai melalui mekanisme induksi resistensi.


d)  Pemacu Pertumbuhan Tanaman (Plant Growth Promoting)
      Menurut Muslim et al. (2006), Trichoderma mampu meningkatkan tinggi dan berat basah tanaman yang berkisar antara 5-60% (Gambar 7).  Penelitian ini memperkuat penelitian Baker et al. (1991) yang melaporkan bahwa Trichoderma sangat efektif sebagai cendawan pemacu pertumbuhan tanaman tomat, cabai dan mentimun (Kleifeld & Chet, 1992).
      Menurut Baker (1985), Trichoderma mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman disebabkan karena Trichoderma memiliki kemampuan merangsang tanaman untuk meningkatkan hormon pertumbuhan. Asosiasi antara isolat Trichoderma dengan akar membantu tanaman dalam mengabsorbsi mineral dari media tumbuhan (Shivanna, 1995). Windham et al. (1986) juga melaporkan bahwa perlakuan Trichoderma spp. pada tanaman tomat dan tembakau mampu meningkatkan berat kering akar dan pucuk 21,3-27,5% dan 25,9-31,8% dibandingkan kontrol.

PERBANYAKAN DAN APLIKASI Trichoderma spp.
    Pertumbuhan serta perkembangan cendawan akan sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor.  Menurut Dhingra dan Sinclair (1985), faktor tersebut di antaranya ialah suhu, cahaya, udara, pH serta nutrisi.  Sumber nutrisi yang dibutuhkan oleh cendawan terutama berupa karbon dan nitrogen (Barnett & Hunter, 1998).  Oleh karena itulah, biasanya Trichoderma diperbanyak pada media yang mengandung nutrisi tersebut.
     Teknologi perbanyakan Trichoderma yang dapat dilakukan di antaranya ialah menggunakan media dedak + bungkil jagung + merang padi (Muslim et al., 2006).  Cendawan antagonis Trichoderma disiapkan dalam bentuk inokula dedak + bungkil jagung + merang padi dengan perbandingan 40 g dedak: 30 g bungkil jagung: 10 g merang padi.  Inokulum dedak + bungkil jagung + merang padi disiapkan dengan cara: Isolat Trichoderma, ditumbuhkan pada medium PDA selama tiga hari pada suhu ruangan.  Diinokulasikan sebanyak tujuh mata bor gabus ukuran 5 mm ke dalam media biakan (dedak + bungkil jagung + merang padi) yang sudah disterilisasi dengan otoklaf di dalam botol selai/plastik tahan panas.  Media biakan ditambah air distilasi dengan perbandingan 1:0,8 w/v untuk menjaga tetap lembab.  Biakan diinkubasikan selama 14 hari pada suhu ruangan.  Biakan diguncang setiap hari supaya kolonisasi cendawan pada campuran dedak + bungkil jagung + merang padi merata, kemudian dikering-anginkan selama 7 hari dan disimpan pada suhu 4oC sebelum digunakan.  Selain itu, berdasarkan percobaan penulis, cendawan Trichoderma spp. dapat pula diperbanyak pada media yang mengandung serbuk kayu, ampas kelapa dan dedak padi (2:1:1) yang ditambahkan 30% air pada campuran media tersebut.  Di mana pertumbuhan Trichoderma hanya berlangsung sekitar 5 hari dengan kerapatan konidia mencapai 108 konidia/g. Trichoderma dapat tumbuh dan diperbanyak pada ampas kelapa, serbuk kayu dan dedak dikarenakan kemampuannya sebagai dekomposer yang bersifat saprofit.  Bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan oleh Trichoderma sebagai media tumbuh dikarenakan mengandung protein dan selulosa yang dibutuhkan oleh Trichoderma sebagai sumber energi. 
   Formulasi padat Trichoderma spp. dapat diaplikasikan secara langsung sebelum maupun setelah penanaman.  Aplikasi dilakukan dengan memasukkan sekitar 10 g biakan pada lubang di sekitar perakaran tanaman atau dapat pula melarutkan biakan dalam air dan selanjutnya disemprotkan pada tanaman (Syahri, 2008a).  Cendawan ini akan mengadakan kolonisasi pada perakaran tanaman, sehingga memungkinkan tidak terjadinya infeksi oleh patogen.  Hal ini tentunya didukung oleh kemampuan cendawan Trichoderma ini dalam berkompetisi dengan cendawan lainnya.  Selain itu, dapat membantu mempercepat penyerapan unsur hara oleh tumbuhan.  Aplikasi produk biofungisida berbahan aktif cendawan Trichoderma spp. ini juga dapat dilakukan melalui perlakuan benih (seed treatment) sehingga tanaman yang tumbuh akan tahan terhadap serangan penyakit. 
    Hasil penelitian menunjukkan bahwa Trichoderma spp. yang diperbanyak pada media cair dimana media cair ini mengandung 15 g yeast extract dan 20 g sukrosa untuk setiap liter air mampu menekan penyakit rebah kecambah pada tanaman cabai yang disebabkan oleh R. solani.

    Berdasarkan Tabel di atas, nilai penekanan penyakit tertinggi terjadi pada perlakuan Trichoderma spp. isolat T6 yakni sebesar 100% untuk insidensi penyakit dan 98,91% untuk keparahan penyakit.  Sedangkan nilai penekanan penyakit terendah terjadi pada perlakuan Trichoderma spp. isolat T11 yakni sebesar 29,41% untuk insidensi penyakit dan 22,83% untuk keparahan penyakit.  Heil dan Bostock (2002) menyatakan bahwa penekanan Trichoderma spp. terhadap patogen dapat disebabkan karena adanya kemampuan cendawan ini dalam memacu pembentukan senyawa-senyawa pada tanaman yang bersifat antipatogen seperti pathogenesis-related (PR) protein dan fitoaleksin.  Selain itu menurut Elad dan Freeman (2002), Trichoderma spp. juga mampu mensekresi enzim pertahanan seperti protease, khitinase, peroxidase serta terjadinya lignifikasi pada dinding sel sehingga mampu menghambat perkembangan dan penyebaran patogen.  Melihat fakta di atas, maka potensi pemanfaatan cendawan Trichoderma spp. Sangat potensial untuk dilakukan dalam upaya mengendalikan penyakit tanaman di lahan rawa lebak.

Pestisida Nabati Nimba

PEMANFAATAN NIMBA (Azadirachta indica A. Juss) SEBAGAI PESTISIDA NABATI UNTUK MENDUKUNG PERTANIAN DI SUMATERA SELATAN

Syahri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
Jl. Kol. H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang
Telp. (0711) 410155 Fax. (0711) 411845
Email: bptp-sumsel@litbang.deptan.go.id

Abstrak

            Sumatera Selatan dengan zona agroekosistem yang terdiri dari: lahan rawa pasang surut, rawa lebak, irigasi, lahan kering dan tadah hujan merupakan daerah yang potensial dalam upaya budidaya tanaman pangan. Sejalan dengan itu pula berbagai permasalahan muncul mulai dari adanya gangguan hama dan penyakit, kondisi lahan yang miskin hara serta adanya kesulitan untuk memperoleh benih yang berkualitas.  Tingginya penggunaan bahan kimiawi sintetik terutama pestisida merupakan salah satu penyebab meningkatnya serangan hama ataupun penyakit tanaman. Apalagi di tingkat internasional yang menghendaki residu pestida di bawah batas MRLs (Maximum Residue Limits) sehingga produk yang dihasilkan akan sulit untuk dipasarkan.  Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan bahan-bahan alami yang mudah didapat, efektif dalam melindungi tanaman dan aman terhadap lingkungan.  Salah satunya adalah ekstrak nimba (Azadirachta indica A. Juss) yang mampu berperan sebagai pestisida botani untuk mengendalikan hama tanaman. Tanaman nimba menghasilkan beberapa senyawa kimiawi seperti azadirachtin, meliantriol, salanin, nimbin, dan nimbidin yang dapat mengendalikan berbagai jenis hama dan mampu berperan sebagai bakterisida, fungisida, nematisida, virusida dan moluskisida.

Kata kunci: nimba, pestisida nabati, pemanfaatan.

KARAKTERISTIK TANAMAN NIMBA

    Tanaman nimba (Azadirachta indica) merupakan tanaman tahunan (perennial) dan selalu hijau sepanjang tahun.  Batang tanaman lurus dan berkayu keras, memiliki banyak cabang, dengan ketinggian pohon berkisar antara 7-20 m dan lingkar batang dapat mencapai 100 cm.  Batang berkulit tebal dan agak kasar.
    Tanaman nimba dewasa (> 20 tahun) dapat menghasilkan buah sebanyak 30-50 kg per pohon per tahun.  Buah nimba termasuk buah batu, berbentuk agak lonjong seperti buah langsat, tetapi berukuran kecil (1 cm).  Bila sudah matang, buah akan jatuh dengan sendirinya (Rukmana & Oesman, 2002). Pada waktu matang, buah yang asalnya berwarna hijau berubah menjadi kuning.  Bijinya ditutupi oleh kulit yang keras.
    Bagian nimba yang mengandung senyawa aktif bersifat sebagai pestisida, terutama pada biji dan daun. Kandungan biji lebih banyak dibandingkan daun, ada 20 senyawa aktif yang terkandung di dalamnya, seperti azadirachtin, meliantriol, salamin, nimbin, dan nimbidin (Biswas et al., 2002; Wheni et al., Shiva; 2007), secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
    Adapun cara kerja bahan aktif pada nimba menurut Kardiman (2006) ialah sebagai berikut:
a)    Azadirachtin berperan sebagai ecdyson blocker atau zat yang dapat menghambat kerja hormon ecdyson, yaitu hormon yang berfungsi dalam proses metamorfosa serangga.
b)    Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (antifeedant) yang mengakibatkan daya rusak serangga sangat menurun, walaupun serangganya sendiri belum mati.
c)    Meliantriol yang berperan sebagai penolak (repellent) sehingga serangga hama tidak mau mendekati zat tersebut.
d)    Nimbin dan Nimbidin yang berperan sebagai antrimikroorganisme seperti anti virus, bakteri dan fungi sehingga bermanfaat untuk pengendalian penyakit tanaman.

PEMBUATAN DAN APLIKASI EKSTRAK NIMBA

1.  Pembuatan Ekstrak Nimba
Pestisida nabati nimba dapat dibuat dengan beberapa cara di antaranya dengan ekstraksi biji atau daun nimba, yaitu menggunakan pelarut seperti alkohol, ekstraksi sederhana dengan menggunakan air, ataupun pengepresan biji untuk menghasilkan minyak.  Proses ekstraksi sederhana daun nimba menggunakan air sebagai pelarut dilakukan dengan merendam ¼ kg daun nimba di dalam 1 liter air selama lebih kurang 24 jam.  Ekstrak dipisahkan dengan menyaring campuran tersebut.  Ekstrak yang diperoleh siap diaplikasikan pada tanaman.  Ekstrak yang diperoleh menggunakan pelarut air ini tidak dapat bertahan lama karena sangat mudah terurai sehingga harus segera diaplikasikan.
    Ekstraksi biji nimba dapat dilakukan dengan cara: biji nimba dikupas dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 60–70 oC selama + 4 jam.  Biji nimba yang sudah kering ditimbang 50 g lalu diblender. Kemudian ditambahkan 0,5 liter methanol dan diaduk dengan shaker selama 24 jam. Kemudian ekstrak disaring menggunakan kain kasa halus.  Hasilnya diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 45-50 oC selama + 1,5 jam.  Hasil ekstrak yang didapat sebanyak 12 ml. Ekstrak biji nimba diambil 10 ml dengan menggunakan gelas ukur, dan dilarutkan dengan 100 ml aquadest (Prijono, 1994).

2.  Aplikasi dan Efektifitas Ekstrak Nimba
Aplikasi ekstrak nimba dilakukan dengan cara penyemprotan pada tanaman.  Hama yang telah disemprot dengan ekstrak nimba akan mati beberapa waktu kemudian.  Kematian hama disebabkan karena adanya kandungan senyawa kimia yang bersifat racun seperti azadirachtin, nimbin, nimbidin.  Namun, senyawa yang sangat berpengaruh adalah azadirachtin.  Daya kerja azadirachtin terhadap serangga yakni mencegah hama untuk memakan tanaman (antifeeding), menghalau larva dan serangga dewasa (repellent), mengganggu atau menghambat perkembangan telur, larva, pupa dan serangga dewasa, mencegah terjadinya pergantian kulit larva atau nimfa, menurunkan produksi telur pada serangga betina, mengganggu kopulasi, mengganggu komunikasi seksual, mencegah serangga betina meletakkan telur.  Menurut Riama (2008), serangga yang mati mengalami perubahan warna serta biasanya menjadi abnormal.  Penggunaan pestisida nabati biji mimba yang mengandung azadirachtin terbukti dapat menekan serangan ulat grayak (Nathan dan Kalaivani, 2005 dalam Marwoto dan Suharsono, 2008).
Berdasarkan pengamatan penulis, aplikasi ekstrak biji nimba mampu mengendalikan hama gudang Callosobruchus chinensis pada kacang hijau.  Menurut Mordue dan Blackwell (1993), senyawa azadirachtin dalam nimba dapat mempengaruhi pertumbuhan pada larva serangga seperti mempengaruhi proses molting, penghambat pertumbuhan, malformasi, hingga pada kematian serangga.  Akibatnya serangan maupun populasi hamapun menjadi berkurang.  Tang et al (2002), melaporkan bahwa penyemprotan ekstrak nimba (11-180 ppm) pada tanaman jeruk di rumah kaca mampu mengurangi 20-80% populasi kutu Toxoptera citricida (Kirklady).  Menurut Wuryantini dan Endarto (2008), ekstrak biji nimba mampu menyebabkan mortalitas Diaphorina citri dengan nilai LC50 dan LC95 yakni 2,201 ml/l air dan 35,374 ml/l air serta berpengaruh nyata terhadap keperidian D. citri.  Hal ini disebabkan oleh adanya sifat dari bahan aktif nimba yaitu sebagai antifeedant dan insect growth regulator, sehingga selain menyebabkan kematian pada konsentrasi tinggi juga mampu mengganggu sistem reproduksi serangga.
Selain dapat mengendalikan hama, ekstrak nimba diketahui juga mampu mengendalikan berbagai jenis penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan, bakteri bahkan menekan serangan penyakit yang disebabkan virus.  Menurut Hassanein et al. (2008), ekstrak daun nimba pada berbagai konsentrasi (5%, 10%, 15% dan 20%) mampu menghambat perkembangan penyakit hawar daun Alternaria solani sebesar 17,88%, 23,66, 52,77 % dan 70,55% serta mampu menekan penyakit layu Fusarium oxysporum sebesar 14,77 %, 23,88%, 31,22 % dan 100% pada tanaman tomat.  Hal ini disebabkan karena ekstrak nimba diketahui menghasilkan senyawa penghambat produksi mycotoxin oleh cendawan patogenik, senyawa tersebut di antaranya Azadirachtin, 6-deacetyl-nimbin, azadiradione, nimbin, salanin dan  epoxyazadiradione (Mossini et al., 2009).  Selain itu, secara langsung ekstrak nimba juga mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogenik (Gambar 1).  Nimba juga diketahui dapat menekan serangan penyakit yang disebabkan oleh virus.  Perlakuan ekstrak daun nimba 150 g/l yang diaplikasikan sebelum penularan Tobaco Mosaic Virus Ochid Strain secara mekanis ternyata mampu menghambat infeksi sebesar 37,5% (Rahardjo et al., 1999).

Menurut Setiawan (2003), apikasi 200 g daun nimba dalam satu liter air dapat menekan serangan jamur Alternaria porri pada tanaman sayuran.  Rosyida dan Damayanti (2007) menambahkan, ekstrak daun segar dan kering nimba mampu menghambat pertumbuhan koloni jamur Alternaria porri, hal ini disebabkan karena minyak margosa yang terkandung dalam daun nimba mengandung belerang yang mampu menghambat pertumbuhan jamur.